h1

Membangun Sistem Pelayanan Kesehatan Nasional Berbasis Pelayanan Kedokteran Keluarga dalam Era SJSN

November 10,2012

RINGKASAN EKSEKUTIF

MEMBANGUN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN NASIONAL BERBASIS PELAYANAN KEDOKTERAN KELUARGA DALAM ERA SJSN

Banyak negara di dunia berhasil menata kembali sistem kesehatannya dengan menerapkan Primary Health Care (PHC) sebagai orientasi pembangunan kesehatannya. Deklarasi Alma Ata menjadi tonggak sejarah peradaban manusia. Pasca deklarasi tersebut kesehatan menjadi gerakan politik universal. Kesehatan diakui sebagai hak asasi manusia tanpa memandang status sosial ekonomi, ras, kewarganegaraan, agama, dan gender. Di Indonesia terjadi marginalisasi terhadap pelayanan kesehatan primer. Konsep PHC diinterpretasikan terbatas sebagai 1) Fisik puskesmas, 2) Program puskesmas, 3) Pelayanan strata pertama di sarana pemerintah, dan 4) Pendekatan upaya kesehatan berbasis masyarakat seperti posyandu, bidan desa, dan desa siaga. Hal ini menyebabkan PHC sebagai sebuah konsep dan strategi pembangunan kesehatan dikerdilkan menjadi sekedar pelayanan atau program kesehatan pemerintah untuk masyarakat kecil. Di sisi lain pelayanan kesehatan swasta (praktik dokter, klinik, rumah sakit) seolah di luar naungan konsep PHC. Pelayanan swasta yang jumlahnya jauh lebih banyak ini dibiarkan bebas mengikuti mekanisme pasar. Model layanan yang sarat kuratif berdampak besar dalam membangun mind-set masyarakat untuk berorientasi kuratif, dan mendorong tumbuhnya komersialisasi layanan kesehatan termasuk di fasilitas kesehatan milik pemerintah. Pendidikan tenaga kesehatan juga berperan dalam pengkerdilan ini karena sistem pendidikan dan sistem pelayanan belum
link and match atau masih berjalan sendiri-sendiri. Sampai saat ini model pendidikan tenaga kesehatan belum disesuaikan dengan konsep PHC. Mereka dididik di rumah sakit yang fungsinya semacam bengkel dan menjadi ahli mengobati organ tertentu bukan mengobati orang yang menderita penyakit; hasilnya adalah dokter dengan mind-set kuratif.
Konsep PHC pada dasarnya adalah pendekatan atau strategi untuk membangun sistem kesehatan nasional yang mememayungi seluruh upaya kesehatan. Suatu sistem pelayanan kesehatan yangmengadopsi konsep PHC akan memiliki 22 karakteristik yang terbagi dalam dua kelompok: 1)karakteristik dari sistem pelayanan dan 2) karakteristik yang menjadi atribut yang melekat pada praktik dokter di strata primer. Sistem pelayanan kesehatan yang memiliki sebagian besar dari 22 karakteristik ini, dapat dikatakan sebagai sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pelayanan primer. Penguatan pelayanan kesehatan primer berkorelasi erat dengan peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Kecacatan dan kematian secara dini dapat dicegah dan dideteksi. Peningkatan cakupan layanan primer dapat meningkatkan kepuasan pasien dan menurunkan biaya kesehatan karena angka rujukan menjadi lebih kecil. Studi di negara berkembang menunjukkan orientasi pada pelayanan spesialistik justru menimbulkan ketidakmerataan pelayanan kesehatan. Terbukti bahwa sistem kesehatan di negara berkembang yang berorientasi pada pelayanan primer, pelayanan bisa lebih merata, lebih mudah diakses dan lebih pro pada yang miskin.
Menindaklanjuti UU SJSN no. 40 tahun 2004, telah disahkan UU no. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dalam undang-undang tersebut, bagaimana pelaksanaan jaminan kesehatan belum dijelaskan dan akan diatur dalam peraturan tersendiri. Penyedia layanan kesehatan akan berperan sebagai ujung tombak pelaksanaan jaminan kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu aturan mengenai pelaksanaan jaminan kesehatan, terutama yang mengatur mengenai penyedia layanan kesehatan atau pemberi pelayanan kesehatan.

Role Model Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK)
Upaya Kota Bontang untuk menata ulang sistem pelayanan kesehatannya dengan menerapka nkonsep PHC adalah sebuah contoh sukses. Sistem kesehatan Kota Bontang telah memiliki fondasi yang kuat untuk menjadi sebuah sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pelayananprimer dalam rangka mencapai universal coverage. Di era SJSN dan BPJS ini kesiapan pelayanan primer menjadi agenda yang tak terelakkan, oleh karena itu pengembangan role model pelayanan primer yang ditunjang oleh pembiayaan dari jaminan sosial menjadi mutlak untuk dipersiapkan. Puskesmas saat ini menanggung beban berat dengan menjalankan fungsi ganda sebagai penyelenggara upaya kesehatan masyarakat (public goods) dan upaya kesehatan perorangan (private goods). Dalam SKN 2004, disebutkan bahwa ketika SJSN sudah berlaku, maka akan terjadi perubahan fungsi puskesmas. Puskesmas akan fokus untuk menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara upaya kesehatan masyarakat. Sedangkan upaya kesehatan perorangan akan diserahkan kepada swasta melalui konsep pelayanan kedokteran keluarga, kecuali di daerah sanga tterpencil yang masih akan terpadu dengan puskesmas. Namun, pada SKN 2009 konsep tersebut belum tampak demikian sehingga perlu dilakukan koreksi atau amandemen. Selanjutnya SKN tersebut bisa diangkat menjadi peraturan pemerintah (PP).
Konsep “Pelayanan Kedokteran Keluarga” ini kemudian yang dimodifikasi dengan membangun jejaring pemberi pelayanan kesehatan primer dengan pendekatan pelayanan kedokteran keluarga dalam bentuk Klinik. Klinik kedokteran keluarga adalah konsep jejaring klinik dimana terdapat satuklinik induk dengan pelayanan lengkap dikelilingi oleh beberapa klinik pendukung sebagai satelit. Klinik-klinik tersebut tidak sekedar berjejaring tetapi menjadi klinik dengan kepemilikan bersama. Ada mekanisme rujukan dari dari klinik satelit ke klinik induk dengan fasilitas yang lebih lengkap.Setiap klinik satelit tetap memiliki instalasi obat dan fasilitas penunjang sederhana, namun untuk jenis pelayanan tertentu dibantu oleh klinik induk yang memiliki apotik lebih lengkap, fasilitas laboratorium, radiologi, ekg, usg, dan lain sebagainya sesuai dengan standar fasilitas pemberi pelayanan kesehatan primer. Sinergisitas tenaga kesehatan mewujudkan pelayanan kesehatan yang holistik sudah harusdikembangkan pada Klinik tersebut. Dokter tetap menjadi nahkoda pelayanan kesehatan, namun bukan pemilik tunggal dari pelayanan kesehatan. Selama ini dokter merasa sebagai pemilik tunggal atau penguasa dari pelayanan kesehatan, sehingga wajar jika masyarakat juga menimpakan seluruh kesalahan pelayanan kesehatan kepada dokter. Untuk itu perlu dipersiapkan strategi peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dalam kerangka tim pelayanan kedokteran keluarga melalui pelatihan dan bimbingan teknis secara terstruktur. Kepemilikan dalam kerangka bisnis layanan kesehatan yang memaksimalkan keuntungan akan menimbulkan ketegangan dan ketidakharmonisan karena berlandaskan besarnya modal yang dikuasai dan menempatkan profesional kesehatan dalam konteks antara buruh dan majikan serta pasien sebagai objek bisnis. Oleh karena itu, perlu didorong kepemilikan bersama terhadap entitas pelayanan dan jejaringnya sehingga kolektifitas kesejawatan dapat terbangun dan imbal balik bagi profesi kesehatan bisa lebih berkeadilan. Konsep kepemilikan bersama ini bisa saja difasilitasi oleh pihak ketiga baik koperasi maupun lembaga keuangan lainnya yang bisa mengakomodir semangat kolektifitas kesejawatan profesi kesehatan. Proporsi kepemilikan, distribusi tanggung jawab dan prosentase bagi hasil pelayanan dapat ditentukan kemudian dengan hitungan tersendiri. Seluruh rakyat Indonesia berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kualitas yang sama. Demi keadilan dan meratanya pemberian pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, maka rekrutmen dan seleksi PPK harus dilakukan secara seksama di tingkat Nasional. Pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan SJSN selayaknya bersifat efektif dan efisien, untuk menjaga kesehatan rakyat Indonesia dengan biaya kesehatan yang rasional. Pelayanan kesehatan yang holistik, komprehensif, dan berkesinambungan adalah karakteristik yang harus dimiliki oleh PPK.

PPK yang telah lolos seleksi dapat di tempatkan di daerah yang ditentukan oleh tim seleksi dari BPJS. Sesuai dengan UU No. 24 tahun 2011 mengenai BPJS, bentuk kerja sama antara BPJS dan PPK merupakan sistem kontrak. Untuk memperoleh hasil optimal dalam mengembangkan kesehatan pada masyarakat yang menjadi tanggungannya, dibutuhkan waktu yang tidak singkat. Jangka waktu 2 tahun adalah jangka waktu minimal untuk kontrak. Kontrak dengan PPK dapat diperpanjangdengan menilai kinerja PPK. Terkait dengan pelaksanaan jaminan kesehatan yang bertahap, pada pelaksanaan tahap awal, PPK yang tidak termasuk dalam sistem tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakan pelayanan kesehatan bagi para peserta jaminan kesehatan.

Pembiayaan PPK
Mengenai pembiayaan PPK, yang dihitung adalah kebutuhan pembiayaan per entitas atau institusi pelayanan bukan per dokter. Berbeda dengan pembiayaan RS yang hitungannya berbasis pada paket pelayanan sebagaimana tertuang dalam INA-CBGs. Pembiayaan PPK meliputi biaya administrasi, sarana dan prasarana, obat dan perbekalan kesehatan, serta kompensasi tim dokter. Hitungan jasa medik konsultasi, pemeriksaan, maupun tindakan dalam rangka pengobatan baiknya hanya untuk kepentingan penjamin, dalam hal ini BPJS. Kompensasi atau pendapatan dokter berdasarkan jumlah tindakan tidak dianjurkan karena bisa mengganggu profesionalisme dokter dalam bekerja.Pendapatan dokter baiknya ditetapkan berbasis jam kerja dan kemanfaatan yang diberikan. Namun perlu ada standar mengenai jumlah jam pelayanan atau jumlah pasien dan jumlah tindakan yang ditangani oleh seorang dokter setiap harinya. Setiap PPK juga harus memiliki SOP dalam setiap layanan dan dalam penyelenggaraannya mengacu pada standar penyelenggaraan PPK. Secara umum mekanisme pembayaran layanan kesehatan masih didominasi oleh pembayaran out of pocket dengan konsep fee for service. Hal ini mendorong pemberian layanan yang berlebihan, terjadi pemborosan sumber daya dan menimbulkan ketidakpastian biaya pelayanan bagi pasien serta ketidakpastian kompensasi atau pendapatan bagi dokter. Pelayanan kesehatan menjadi komoditas yang mahal, sehingga membebani pemerintah dan juga masyarakat. Dahulu biaya berobat menjadi penghalang bagi akses terhadap layanan kesehatan, dengan adanya jaminan kesehatan nasional biaya berobat tidak lagi menjadi penghalang, namun mahalnya biaya pengobatan berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi keluarga bahkan nasional bila harus diikuti oleh premi asuransi yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Kompensasi Dokter dan Jasa Medik
Secara umum pembenahan sistem kompensasi dan jasa medik dokter merupakan bagian dari upaya untuk menghargai profesi dokter secara layak dan berkeadilan, berkeadilan tidak hanya bagi dokter tapi juga bagi pasien dan pemerintah yang secara gotong royong menanggung biaya kesehatan. Sehingga dengan demikian pelayanan kesehatan yang diberikan tidak lagi terganggu oleh perilaku “kejar setoran” karena rendahnya tingkat kesejahteraan profesi dokter.
Adanya kebijakan pelayanan kesehatan gratis melalui jaminan kesehatan daerah di banyak tempat di Indonesia seringkali diikuti dengan kebijakan “dokter murah” atau menghargai dokter di bawah standar nilai keekonomian atas jasa pelayanan yang diberikan. Kompensasi atau pendapatan dari kerja utama (40 jam/minggu) menjadi tidak mencukupi untuk “hidup layak”. Hal ini menyebabkan dokter harus kerja rangkap dan menambah jam kerja untuk mencukupi penghasilan. Akibatnya kualitas pelayanan berkurang, kepuasan pasien menurun dan angka rujukan ke pelayanan sekunder dan tersier meningkat. Soal kepantasan pendapatan seorang dokter sebetulnya siapa yang berhak menentukan? Apa yang menjadi dasar rasionalisasinya? Angka pendapatan dokter harus bisa memenuhi kebutuhan untuk hidup layak. Terbukti bahwa pendapatan dari kerja utama dokter (40 jam/minggu) tidak cukup untuk bisa hidup layak. Semestinya dokter dihargai sebagai dokter, mengapresiasi kerja kemanusiannya sesuai dengan etika dan kompetensinya dengan kompensasi yang layak.
Kompensasi tersebut sudah harus menjadi pendapatan utama dokter yang mencukupi sehingga dokter bisa fokus bekerja tanpa harus mencari nafkah dengan pekerjaan yang akan mengganggu aktifitas utamanya sebagai Dokter Pelayanan primer (DPP). Hasil penelitian IDI berkaitan dengan DPU sebagai kelompok profesional dengan pendidikan yang lama dan biaya pendidikan yang mahal masih lebih rendah dibandingkan para profesional yang bekerja di sektor lain, misalnya Bank. Kompensasi atau pendapatan setahun dari menjalankan profesi kedokteran sebagai DPP secara fulltime bisa dibagi menjadi 3 komponen kompensasi DPP:
1) Kompensasi Dasar;
2) Kompensasi peran, tanggungjawab & beban kerja;
3) Insentif mendukung pencapaian target nasional.
Untuk menjamin suatu sistem kompensasi dokter dan jasa medik memenuhi asas keadilan dan asas transparansi, maka sistem tersebut harus dilandasi oleh prinsip dasar sebagai berikut:
1.Produktifitas dokter dan jasa medik merupakan bagian integral dari sistem kompensasi dokter,
2.Kompensasi dokter seyogyanya setara dengan kerja dokter, yaitu sumber daya yang dicurahkan dokter untuk melayani pasiennya;
3.Ada keseimbangan kompensasi antar dokter dan antar spesialisasi untuk menjamin meratanya persebaran dokter yang bekerja di strata pertama, kedua dan ketiga.
4.Ada keseimbangan kompensasi dokter antar wilayah (urban, rural, daerah terpencil dan pulau terluar NKRI) yang dapat mendukung pemerataan distribusi dokter di indonesia.
5.Kompensasi dokter maupun jasa medik sejogjanya dinyatakan dalam nilai relatif dan dalam rentang (range) bukan satu nilai (fix), agar dapat disesuaikan dengan kondisi setempat. Rentang kompensasi ini seyogjanya mencerminkan kompensasi mayoritas dokter (70-80%).
6.Metode untuk menentukan kompensasi dokter seyogjanya tidak rumit, mudah diterapkan dan transparan, serta nilai nominalnya seyogjanya wajar, masuk akal dan berkeadilan bagi pasien dan dokter.
IDI telah melakukan survei kompensasi dokter untuk menghitung pendapatan dokter dari kerja utama dan kerja tambahan. Dalam analisis, nilai ekstrem dikeluarkan dan dibandingkan dengan pendapatan per kapita nasional. Hasilnya DPU sekitar 10-14 kali dan DSp sekitar 30-44 kali. Dengan asumsi nilai dollar lebih stabil maka total pendapatan dikonversi ke dollar. Dalam analisis dicoba membandingkan pendapatan dokter dengan UMR maupun kondisi ekonomi kabupaten/kota. Tapi hasilnya tidak pas untuk profesi dokter, karena dokter yang bekerja di daerah miskin akan memperoleh pendapatan yang kecil pula. Oleh karena itu, penerapan Indeks Geografik Praktik (IGP) lebih pas. Sudah dihitung dan didapatkan IGP daerah urban dengan angka 1, IGP daerah rural dengan angka 1,25 , dan daerah terpencil dengan angka 1,5. Saat ini digunakan formula kompensasi dokter per bulan berikut ini:
Kompensasi DPU = (10-14 x Pendapatan per kapita nasional x kurs 1USD x IGP) : 12 bulan.
Dengan pendapatan per kapita nasional saat ini sebesar 3.500,- dan kurs dollar di angka Rp. 9000,-,serta IGP dengan angka 1, maka didapatkan kisaran kompensasi DPU sebesar Rp. 25.500.000,-hingga 35.700.000,-.

IDI, 2012

Satu komentar

  1. bagus blog nya jadi bahasan untuk kuliah ni.

    kunjungi blog gue juga ye, hanya untuk refrehing aja, hehe
    jejakkaki000.blogspot.com



Tinggalkan komentar